Sunday, June 6, 2010

Analogi Kader: Empek-empek versus Pisang

Kamis malam (3 Juni 2010), aku membantu kakak iparku (kebetulan bersuku Palembang) membuat makanan khas Palembang, yakni Empek-empek. Saat membuat adonannya, aku hanya bisa memperhatikannya saja. Adonan itu di aduk-aduk, dibenyek-benyek, ditambah tepung, ditambah ikan, ditambah ini dan itu, hingga jadilah ia Empek-empek siap untuk di rebus. Air sudah dipanaskan, lalu kakakku itu memasukkan adonan itu satu per satu ke dalam air yang mendidih itu. Ku lihat adonan yang dimasukkan itu lekas tenggelam. Tanpa menanyai kakakku kenapa adonan itu tenggelam, aku sudah tau jawabannya “ya karena adonannya berat” pikirku. Selang beberapa lama, adonan itu naik ke permukaan satu per satu.
“wahh…. Udah matang nih” kata kakakku
“Matang?” tanyaku spontan
“Iya, kalau empek-empeknya naik ke atas, itu tandanya sudah matang, san” jawabnya

Melihat peristiwa “empek-empek” itu, tiba-tiba aku teringat dengan sesuatu. Aku langsung saja punya pikiran untuk meng-analogi-kan penciptaan kader suatu organisasi dengan proses pembuatan empek-empek tersebut. Loh kok gitu?

Menciptakan kader yang paripurna tidaklah semudah seperti membalikkan telapak tangan. Di dalam proses penciptaan kader, terdapat beberapa mekanisme yang harus dilalui. Hal ini tidak jauh berbeda dengan cara membuat adonan empek-empek seperti yang telah saya ceritakan tadi. Maka dari itu, apabila kader tersebut telah matang, maka ia pun akan berdiri dengan tegak, lalu maju ke muka. Kader yang telah matang tadi, akan siap meneruskan kepemimpinan selanjutnya, dengan harapan kepemimpinan yang ia emban mampu lebih baik dari pada kepemimpinan sebelumnya. Jika empek-empek yang telah matang tadi telah siap untuk dihidangkan guna memenuhi keinginan dan bermanfaat bagi si pembuatnya, maka begitu juga dengan kader. Kader yang telah matang tersebut pun harus mampu berperan sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amanah agar dapat bermanfaat bagi pimpinan dan lingkungan di sekitarnya.

Selain memperhatikan kakak iparku mengadon empek-empek, lalu menganalogikan empek-empek tersebut dengan kader, aku juga sambil memakan beberapa buah pisang. Sambil melakukan aktivitas-aktivitas itu, Terbersit beberapa pertanyaan di dalam hatiku, “bagaimana bila organisasi di suatu daerah baru saja belajar merangkak, sehingga belum memiliki kader yang matang atau mumpuni untuk menjalankan kepemimpinan terhadap pimpinannya itu?”

Sejenak, aku berfikir bahwa mungkin ini yang dimaksud dengan Pemimpin Karbitan. Layaknya pisang, mayoritas pisang di karbit agar cepat dirasakan manfaatnya. Begitu pula dengan kader karbitan, kader-kader yang akan dijadikan pemimpin organisasinya, sengaja digesa perkaderannya. Sengaja dipercepat prosesnya agar dapat memenuhi kebutuhan pimpinannya. Karena, sebuah organisasi tidak akan dapat berjalan baik bila tidak memiliki pemimpin. Pemimpin yang dikarbit ini pun tidak serta merta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang buruk, justru terkadang pemimpin karbitan ini kerap terurai dalam sejarah karena ia lah yang merintis dan menggerakkan pimpinannya agar mampu eksis di jagat pengorganisasian daerah tersebut pada waktu yang akan datang.

Jadi, apabila organisasi di daerah kita itu sudah tumbuh dan berkembang sejak lama (sudah maju), maka pilihlah kader yang benar-benar matang dan siap tampil di depan untuk segera dirasakan manfaatnya, dan jangan pernah memilih Kader Karbitan. Karena pada situasi yang demikian itu, Kader Karbitan patut dipertanyakan eksistensi dan niat kepemimpinannya. Sedangkan apabila organisasi di daerah kita itu baru saja belajar merangkak, baru saja merintis eksistensi organisasinya, tidak ada salahnya kita memilih Kader Karbitan. Karena eksistensi dan Niat dari Kader Karbitan pada situasi sulit seperti yang demikian itu, tidak perlu diragukan.

No comments:

Post a Comment