Wednesday, March 9, 2011

Takdir Membawaku Padanya

 “Alhamdulillah, aku lulus” ucapku dalam hati setelah melihat papan pengumuman yang berisi nomor-nomor peserta Ujian Nasional di SMP Negeri 09 Batam tahun 2006.

Tepat berada di sebelahku, sahabatku semasa itu, terdiam seperti mengkhawatirkan sesuatu, lalu kulihat mulai jatuh air matanya, menyiratkan kepanikan. Ya, dia tak berhasil menemukan nomor ujiannya. “San, kayaknya aku ga lulus!” ucapnya tertahan. “Coba cari dulu baik-baik, teliti lagi, pelan-pelan jangan panik, sini kubantu carikan ya!” kataku sambil berusaha menenangkan.

Kucoba membantunya mencari berkali-kali. Sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi, tapi tak kunjung juga kudapatkan. aku lihat ia menangis tersedu, berteriak, lalu pingsan. Aku panik. Spontan teman-teman yang juga berada di sekitar kami, berkumpul, berusaha membantu.

Aku pulang ke rumah dengan terus-terusan memikirkan keadaan sahabatku itu, membayangkan bahwa aku yang berada di posisinya, aku benar-benar tidak sanggup. “kenapa pendidikan begitu kejam?” pikirku tanpa mampu aku menjawabnya.


Waktu terus berjalan, hingga tibalah saatnya kuterima ijazah SMP-ku yang susah payah aku dapatkan. Dengan percaya diri, aku dan teman-temanku yang sama-sama ‘beruntung’, memilih SMA Negeri 5 yang memang tidak jauh dari rumahku. “Kita kompakan ya sekolahnya! Jangan mencar-mencar, biar kita sama-sama terus, ok?” kata salah seorang diantara kami. “ok!” jawabku semangat.

Sudah kebiasaan dalam keluargaku, tiap akhir pekan setelah makan malam, kami menyisihkan waktu untuk berdiskusi. Kali itu pembahasannya adalah di SMA mana aku bersekolah. Dengan optimis dan percaya diri, kukatakan bahwa aku memilih SMA Negeri 5. “Alasannya?” tanya ayahku. “karena teman-temanku semuanya sekolah di sana, lagipula dekat dengan rumah” jawabku lugu.

“Kamu itu sekolah untuk belajar atau bermain dengan teman-temanmu?” Tanya ayahku agak ketus.
“Belajar” jawabku singkat.
“Sudah, masuk sekolah Islam saja, biar tobat kamu” kata Ibuku
“Emangnya susan bandit ya mesti tobat?” berontakku
“Lah kalau kamu ga buat ulah pasti ga akan disuruh tobat” balas Ibuku

Ya, memang semasa SMP, aku masuk kategori ‘anak nakal’. Aku suka mengganggu adik kelas dan mereka yang kuanggap ‘musuh’ (bahkan tak jarang kubuat mereka menangis), cabut dari sekolah, terlambat, melawan serta suka ngusilin guru, ugal-ugalan dan lain-lain.

“Jadi susan mau di sekolahkan dimana? Sekolah Islam yang mana? Jangan yang banyak hafalan Qur’an dan Bahasa Arabnya ya… Jangan yang mesti pake Jilbab” kataku memberi syarat
“Kalau mau yang kayak gitu, masuk sekolah Kristen saja! Mau?” Kesal Ibuku
“Pilihanmu cuma ada 3, masuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN), SMA Muhammadiyah atau SMA Al Azhar. Kamu pertimbangkan itu, putuskan, lalu segeralah mendaftar” tegas ayahku

Seolah tidak punya pilihan lain, aku pun menimbang-nimbang 3 sekolah yang ditawarkan Ayah kepadaku, “MAN, ah… kakakku udah sekolah di sana, nanti ketahuan kalau pulang sekolah aku ga langsung pulang ke rumah. Al Azhar, wah sekolah ini jauh banget, malas banget subuh-subuh udah harus berangkat sekolah. Muhammadiyah, baru denger nih nama sekolahnya, apa kupilih itu aja ya? Hmmm…”

“Ma, Muhammadiyah itu dimana? Kayak mana sekolahnya?” tanyaku
“Di sebelahnya SMK Negeri 1, sekolahnya bagus kok” kata ibuku
“Iya kah? Ya sudah lah, susan pilih itu aja ma” jawabku tanpa pikir panjang
“Bener? Serius ya” Ibuku berusaha meyakinkan
“Iya, bener” Jawabku yakin sambil berjalan ke kamar mandi

Saat aku pergi ke SMA Muhammadiyah untuk mendaftar, aku memakai pakaian kasual, memakai jaket dan tentu saja, tidak berjilbab. Setibanya di Sekolah itu, yang kulihat hanya beberapa gedung, dengan kantin yang seolah-olah mau roboh didampingi sebuah bangunan yang bernama “Masjid At-Taqwa” –mungkin lebih cocok dibilang Mushala- yang kondisinya pun tak jauh berbeda dengan kantin tadi. Situasi sekolah sepi, seolah tidak ada yang berniat mendaftar di sana atau malah tidak berpenghuni. Sampai aku masuk ke sebuah ruangan, kulihat hanya ada seorang anak perempuan sebayaku bersama Ibunya sedang berbincang dengan petugas pendaftaran di sekolah itu. Ada satu hal yang buat aku yakin bahwa itu bukan sekolah Islam seperti sekolah Islam kebanyakan, karena perempuan yang kulihat itu tidak mengenakan jilbab, sama sepertiku.

Hingga tibalah giliranku. “Susanna” petugas itu memanggilku. Aku segera memenuhi panggilannya.
“Nanti kalau sudah masuk sekolah, pakai jilbab ya anakku” kata Ibu itu
“Loh… jadi harus pakai Jilbab ya bu?” tanyaku kaget
“Iya, kamu pasti lebih cantik dan rapi kalau pakai Jilbab. Percayalah. Nanti coba di rumah ya” Kata petugas itu sambil tersenyum ramah

Aku langsung lesu lalu menangis setibanya di rumah dan berulang kali kukatakan pada Ibuku, “Susan tidak mau sekolah di sana!”
Tapi Ibuku menjawab, “dicoba dulu satu semester ya, kalau tidak betah, nanti pindah.” Janji Ibuku

Hari pertama masuk sekolah, aku harus mengikuti kegiatan yang bernama FORTASI bukan MOS seperti di sekolah teman-temanku. Jujur saja, aku mengikuti ini dengan perasaan yang ‘terpaksa’. Aku selalu membantah apa kata seniorku, hingga aku menjadi bulan-bulanan mereka. FORTASI ini seharusnya kuikuti selama seminggu, tapi baru di hari ketiga, aku sudah tidak datang lagi karena masuk Rumah Sakit. Kata dokter, aku stress.

Tapi Ibuku tidak patah arang, ia tetap saja menyemangatiku agar aku mau meneruskan pendidikan di SMA Muhammadiyah. “Percayalah, orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya” kata Ibuku ketika itu. “Baik, aku percaya” kataku dalam hati.

Belajar mengajar mulai berjalan efektif, aku pun sudah memiliki teman dekat di kelas, aku ikuti semua ekstrakurikuler dan kegiatan di sekolah itu. Termasuk Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati I Ikatan Remaja Muhammadiyah –sekarang Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)- yang diadakan pada bulan Agustus 2006. Saat itu, peserta TM I tidak hanya dari sekolahku, tapi juga ada ‘peserta tamu’, mereka dari SMA dan SMK Al Azhar. Salah satu sekolah yang dulu pernah diajukan ayahku.

Di dalam perkaderan itu, ada kesan dan pesan yang tidak akan pernah aku lupakan, terutama lirik lagu yang tiap malam kami nyanyikan, “…Sudah siapkah aku kini menjadi kader yang sejati…”. Ya, lirik lagu yang diciptakan oleh M. Izzul Muslimin itu mampu membiusku, memberi bekas hingga terpatri di dalam diri bahwa Aku adalah Kader Persyarikatan, yang akan menjalankan amanah ummat dan ikatan demi Agama Islam.

Melalui TM I itu pula, aku mengenal IRM, dan jujur saja, aku jatuh cinta. Aku mendapatkan banyak hal, yang mungkin saja tidak akan pernah aku dapatkan di dalam kelas. Aku belajar untuk menjadi Pelajar yang kritis. Aku diajari tentang akhlak, dan masih banyak lagi. Aku percaya, bahwa aku pasti telah beberapa langkah lebih maju daripada teman-temanku dulu.

Tidak lama setelah Taruna Melati I, sekolahku menggelar Musyawarah Ranting (Musyran) IRM. Dalam kesempatan itu, walaupun aku masih kelas X (setara dengan kelas satu) dan masih dikatakan sebagai kader baru, aku terpilih sebagai Sekretaris Umum dan Juhari Octavian sebagai Ketua Umum yang ‘tak lain adalah teman sekelasku. Seketika itu pula aku merasa, inilah takdirku. Tardirku menjadi anak muda yang berjuang demi Agama dan Bangsa melalui Ikatan ini.

Kemudian, suatu ketika aku bertemu dengan teman-temanku yang berhasil masuk ke sekolah impian kami dulu, yakni SMA Negeri 5. Mereka terus-terusan membujukku agar pindah, “masuk sekolah kami saja, nanti masuk OSIS, biar ngetop!” kata mereka
“Enggak lah, aku udah nyaman di sekolahku yang ini. Apalagi aku sudah masuk IRM, kurasa itu lebih ngetop” jawabku yakin.

***
Ucapan terima kasih kuberikan terkhusus kepada Ayah dan Ibuku karena benar-benar bisa membuktikan janjinya untuk memberikan yang terbaik bagiku. Kemudian untuk kakak-kakak tentor Pelatihan Kader Taruna Melati I, kak Winardi dkk. Tanpa kalian, mungkin saya tidak akan bertahan di sana. Untuk teman-teman seperjuangan, kader IPM yang berhasil melewati ujian dan tantangan terberat sekalipun, yang sama-sama merintis karir di IPM sejak di ranting hingga kini di Wilayah; IPMawan Juhari Octavian Hidayatullah (kini Ketua Bidang Organisasi PW IPM Kepri) dan IPMawan Dodi Kurnia Putra (kini Sekretaris Umum PW IPM Kepri)

No comments:

Post a Comment