Friday, February 18, 2011

Keluarga: Media Pendidikan paling Dasar

Namaku Susanna, anak perempuan pertama dari Bapak Samsul Bahri dan Ibu Lina Wati. Memiliki 2 saudara kandung, yang pertama bernama Fahmi Sugandhi, sedang yang bungsu bernama Sonia Rahma. Kami adalah keluarga yang bahagia. Sangat bahagia. Keluarga yang ‘penghuninya’ bertipe pekerja keras, semangat tinggi, pantang menyerah. Kami bukan tipe orang yang nada bicaranya halus, lembut dan pelan. Entah karena keturunan atau apa, jika kami berkumpul, suara kami bisa terdengar 1 RT (mungkin).

Keluargaku adalah keluarga yang senang berdiskusi. Jika ada topik ‘panas’ yang bisa kami diskusikan, maka kami sanggup berdiskusi selama lebih dari 5 jam!. Biasanya topik pembahasan kami adalah dunia kerja atau dunia usaha, pemerintahan, pendidikan, kesehatan sampai hal-hal pribadi anak-anaknya. Di dalam diskusi tersebut, tidak jarang terjadi perdebatan-perdebatan yang cukup sengit, semua mengeluarkan ‘dalil’nya masing-masing. Merasa bahwa argumennya yang paling benar dan berusaha mempertahankannya, bagaimanapun caranya. Biasanya, perdebatan yang mewarnai diskusi kami itu baru berakhir jika ‘lawan’ mulai lemah lalu menyerah. Tapi itulah salah satu hiburan dalam keluargaku, menciptakan sedikit dinamika untuk menambah seni dalam berkeluarga. Cerdas!


Ayahku, seorang laki-laki yang cukup popular di bidang Industri Kapal di Batam, bahkan tidak berhasil menamatkan jenjang Sekolah Dasar-nya, dengan alasan kemauannya untuk sekolah di masa lalu sangat kecil sekali –jika tidak mau dikatakan tidak ada kemauan-. Sekarang, Ayahku menyesal. Selama ini, Ayahku selalu berlagak pandai membaca dan menulis, padahal tidak. Kulihat ia di keseharianku, sejak pagi hingga pagi lagi (di sela-sela kesibukannya) ia belajar, belajar, belajar. Belajar membaca dan menulis.

Bapak, begitu aku memanggilnya, adalah sosok yang semangatnya luar biasa. Semangat memperbaiki diri senantiasa terpatri dalam dirinya tanpa memandang usia. Beliau pernah memberi nasihat kepadaku, “Tidak ada waktu terlambat untuk memperbaiki diri. Jadikanlah yang lalu itu sebagai pengalaman, sebagai pelajaran, ambil hikmahnya lalu jadilah insan yang semakin hari semakin lebih baik”. Permintaan ayahku, yang sering sekali ia utarakan saat di meja makan adalah, “belajar, belajar, belajar”.

Ibuku adalah wanita luar biasa yang pernah kukenal. Wanita yang ‘hanya’ tamatan SMA swasta di Medan ini ‘tak mampu menamatkan kuliahnya karena terbentur biaya. Ibunya (nenekku) meninggal dunia saat usia Ibuku masih sangat muda, sedang ayahnya (kakekku) hanyalah seorang penjaga sekolah di tempat ia menimba ilmu semasa SMA. Suatu ketika ibuku cerita, bahwa ia dilarang -mungkin bisa dikatakan demikian- oleh ayahnya untuk meneruskan studi sarjananya karena ‘lebih baik’ membantu ayahnya bekerja. Saat itu Ibuku tiada pilihan selain ikut apa kata ayahnya.

Kini, Ibuku adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang ‘hanya’ mengurusi 3 orang anaknya, mengurusi suaminya, mengurusi keluarganya. Walau Ibuku ‘tak mampu menyelesaikan studi sarjananya, namun ia adalah sosok wanita cerdas. Ia suka membaca, pandai berbahasa inggris (walau tidak cas cis cus) dan ya… Ibuku senantiasa mendampingi ayahku yang giat belajar baca tulis.
Mungkin sudah lumrah bagi seorang ibu jika dikenal sebagai sosok yang suka ngomel-ngomel. Hehe. Demikian juga dengan ibuku yang suka ngomel-ngomel sejak subuh hingga menjelang tidur. Ngomel-ngomel ‘maksa’ aku bangun tidur, mandi, makan, sholat bahkan menjelang tidurpun aku sering kena omel. Hehe. Sangkin seringnya aku di-omeli bahkan diteriaki, sepertinya jurus-jurus itu sudah tidak mempan lagi. Pernah suatu ketika, Ibuku hampir saja menangis hanya karena lelah mengajakku makan. Ya, aku sering malas makan. Tapi, Ibuku adalah salah satu inspirasi bagiku agar aku senantiasa menjaga kesehatan, jangan sampai kubuat Ibuku menangis hanya karena melihatku tergeletak sakit, karena memang itu tujuannya selama ini, yakni turut andil menjagaku.

Adik laki-lakiku yang kini duduk di bangku sekolah, tepatnya kelas XII (sama dengan kelas tiga) jurusan Teknologi Informasi di sebuah SMK Negeri ter-favorit yang menyandang gelar Sekolah Berstandar Internasional (SBI) di Kota Batam – Kepulauan Riau ini adalah sosok yang bisa dibilang cool. Setiap hari, waktunya hanya dihabiskan dengan sekolah, olahraga dan di rumah, tepatnya di dalam kamar.

Jarang sekali kulihat ia sedang menonton TV, saat kutanya “kenapa kamu ga suka nonton?”, ia menjawab, “Siaran TV sekarang kebanyakan isinya hanya pembodohan ummat”. “Loh kok gitu?” sambungku, dijawabnya lagi, “cobalah perhatikan siaran TV sekarang, lebay semua. Tidak mendidik”.
Wah… apa yang disampaikannya itu benar-benar menusuk alam pikiranku yang (katanya) kritis ini sampai ke pusat operasionalnya. Kurasa benar sekali kata-kata adikku itu, sudah saatnya generasi muda bangsa selektif dalam menonton TV. Atau lebih baik, booming-kan slogan “Matikan TV, saatnya belajar lagi!”

Adikku yang bungsu, baru saja menginjak umur 6 tahun pada tanggal 11 Januari 2011 kemarin. Saat aku pergi kerja, terlebih dahulu aku harus mengantarkan ia pergi sekolah di sebuah TK pendidikan Islam. Saat aku sampai di rumah sepulang kerja sekitar pukul 16.00 WIB, ia belum pulang ke rumah karena sedang mengaji. Saat aku akan pergi kuliah pada malam harinya, kulihat ia sedang belajar berhitung, (mungkin) tugas dari gurunya.

Suatu ketika, adzan maghrib berkumandang, “Allahu akbar Allahu akbar…”, ketika itu pula adikku ini berkata, “kak, sholat yok…”, aku yang pada hari itu sedang tidak diizinkan sholat oleh fisikku karena sedang dalam jadwal bulanan, hanya mampu menjawab, “adik duluan ya… kakak lagi ga sholat”. Spontan adikku menanggapi dengan wajah seriusnya yang berusaha meyakinkan atau mungkin lebih tepatnya mengancam, “kalau ga sholat, nanti masuk neraka, kapok lah kakak!”

Aku yang menghabiskan waktuku dengan berusaha mencatatkan namaku dalam sejarah peradaban manusia -setidaknya agar aku tidak hanya numpang lewat di Bumi ini- jarang sekali berada di rumah. Aku kerja, aku kuliah, aku organisasi, semua kujalani tanpa melupakan ibadahku. Hingga suatu ketika aku terpuruk dan jatuh sakit. Aku pulang ke rumah dalam keadaan tangis yang membuncah, menderai-derai membasahi bajuku, bukan lagi hanya pipiku. Saat itu aku merasakan sakit luar biasa, sakit lahir bathin. Rasanya ketika itu aku ingin meng-cut semua aktivitasku, memilih menjadi gadis rumahan yang semua aktivitasnya dihabiskan di rumah, atau lebih tepatnya di kamar. Sehingga, bila semua itu terjadi, hilanglah tekad awalku yang ingin ‘mencatatkan namaku dalam sejarah’ menjadi ‘sosok yang hanya bisa memperhatikan sejarah’. Ibuku yang luar biasa itu, datang menghampiriku, membujukku, merayuku, setidaknya hingga ia dapatkan alasan kenapa aku menangis terisak seperti itu. Ayahku yang semangatnya sedemikian hebatnya pun menghampiriku lalu berkata, “tidak ada manusia yang berhak putus asa, kita hanya mampu berusaha mewujudkan niat dengan men-tawakkal-kan segalanya hanya kepada Allah swt”. Kemudian mereka meninggalkanku, membiarkan aku sendiri, mungkin bermaksud agar aku berupaya menyelesaikan masalahku dengan kebijaksanaan dan kedewasaanku. Ya… kurasa begitu.

No comments:

Post a Comment